Senin, 23 Juni 2008

Di UjUnG Tanduk

NAMKU Fifi dan perempuan itu adalah sahabatku, Suci. Teman-temannya memanggilnya Uci.

Kupandang sahabatku yang sedang memandangi wajahnya pada kaca lemari. Lihatlah, ia sedang berilusi. Aku tertawa dalam hati.

Pada waktu lalu, ilusi pernah memberi inspirasi bagiku dan kuanggap sebagai pertanda kenyataan yang akan terjadi nanti, esok dan yang akan datang. Mungkin itu hanyalah intuisi saja atau ramalan. Mungkin juga sebuah mitos. Tetpi–logis atau mitos–lihatlah, tidakkah alam raya ini bisa dijadikan indikator untuk satu peristiwa alam di kemudian hari? Bagimana orang Indian–yang jauh dari teknologi–bisa memperkirakan cuaca?

Pada saat itu, aku begitu terobsesi oleh bulan. Sebab nenekku kerap datang mengunjungiku dan mendongeng tentang bulan untukku. Hanya kepada nenekku. Tidak kepada segala ibu dan bapak, karena mereka begitu jahat. Aku boleh merengek kepada nenek tetapi ibu dan bapakku menggebukku. Ibukku kerap memecut kakiku dengan lidi panjang sebab di balik punggungnya, dalam genggam, ia selalu menyembunyikannya. Di hadapan mereka aku dilarang merengek apalagi menangis. Awas kalau menangis, biasanya bapakku menemuiku lalu membentak dalam segala maki, kadang menyekapku dalam kamar yang tidak berpenerang. Berhentilah menangis! Bila tidak, mahluk-mahluk yang tidak suka terang akan mendatangimu karena suaramu akan mengundang mereka untuk datang, begitu bapakku selalu mengancamku.

Bapakku selalu mengancamku sebab rengek dan tangisku adalah bunyi pengganggu baginya. Adakah orang senang mendengar suara tangis? Kelak, aku mengetahui bahwa diriku adalah aib kutukan. Kelahiranku tidak mereka harapkan. Kehadiranku adalah sebuah pertanda buruk bagi mereka, orang-orang yang kupanggil ibu dan bapak. Sebab mereka begitu akrab dengan segala jopa-japi dan benda-benda pusaka, juga mereka meyakini petuah dukun-dukun tua tentang pantrangan . Kalau begitu, kenapa aku tidak dibunuh semenjak aku lahir? Merka tidak melakukan itu.

Mereka begitu jahat tetapi nenekku tidak. Ia selalu meluluskan keinginanku. Padanyalah aku bisa merengek, pun dialah pahlawan yang selalu membebaskan aku dari kamar maut, dimana mahluk-mahluk yang tidak suka terang akan mendatangiku–walaupun aku tidak mengetahui seperti apa bau dan sosoknya dan bagaimana suaranya. Maka nenekku mendongeng untukku.

Ia serinng mengunjungiku dan bercerita tentang bulan. Ia kerap berkata: di bulan ada nenek anteh yang duduk di kursi goyang. Ia ditemani kucing hitam dan tidak pernah berhenti menyulam, sebab bila ia berhenti menyulam walau sebentar saja, cahaya bulan akan redup bahkan padam. Maka nenek anteh selalu mendongeng untuk anak-anak yang terduduk pada undak-undak batu di bawah cahaya purnama. Mereka mendengar ceritanya dengan seksama.

Aku bertanya: Apakah nenek anteh pernah kanak-kanak sepertiku?

Dengarkanlah aku, nak seperti nenek dengar darinya tentang ini:

Bulan nak, adalah perlambang kesabaran. Tataplah ia sampai hatimu merasa diterangi, karena kesabaran adalah cahaya hati. Seperti bulan memberi cahaya pada gelap dan memberi petunjuk pada manusia dalam malam bahkan mahluk-mahluk yang tidak menyukai terang pun menyambutnya sebab bulan tidak menyilaukan seperti matahari.

Tapi bulan sewaktu-waktu batal terbit pada satu malam, kuberkata. Apakah nenek anteh sedang bercerita di tempat lain? Atau berhenti sejenak dari menyulam karena sakit, misalnya masuk angin (sebab aku sering melihat bapak dikeroki ibu karena masuk angin hinga punggungnya memerah dan bapak batal bekerja pada hari itu). Adakah cerita yang lebih menarik? – kubertanya.

Nenekku tersenyum. Amatilah sekelilingmu, nak. Tidak sedikit mahluk yang menanti cahaya bulan, terutama ketika cahayanya penuh. Penantian cahayanya itu seperti penantian wujud dari sebuah harapan, kerinduan untuk berjumpa yang bergemuruh dalam hati. Bulat dalam terang. Orang menyebutnya purnama. Dan, pernahkah kau lihat anak-anak bermain di bawah cahaya bulan. Tetapi ada yang menyambut kemunculannya dalam tangis penyesalan karena bulan menyimpan cerita mengharukan tentang mereka.

Mereka siapa?

Mereka yang telah dikalahkan. Jelmaan sebuah kutuk dari sebuah penghianatan. Mereka yang termakan oleh prasangkanya sendiri. Tetapi mereka tidak pernah mati melainkan bersembunyi pada tempat yang tidak tersentuh cahaya mentari yang menelanjangi segala yang tampak, sebab wujud telah merubah bentuk asalnya. Pungguk yang selalu merindu purnama namun ia menyesali setelah kemunculannya, sebab ia tak sanggup meraih kembali apa yang ia dambakan maka ia menyuarakan malam. Harapan yang hilang. Kemudian ada yang selalu menantikan purnama sebagai penentu siklus keturunan. Pelampiasan sesal dalam nafsu pada sebuah kurun dimana pada saat kemunculan purnama adalah waktu setiap pasang merayakan tubuhnya. Satu sama lain saling menyerahkan diri terhadap diri yang lain. Pernahkah kau dengar, nak kehadiran buaya putih yang dikeramatkan? Tidak banyak bocah-bocah mengetahui cerita ini:

Mereka menyebutnya: Putri Balabat Bodas.

Sebagian orang mempercayai sebagai jelmaan atau kutuk dari Sri Putri Dewata Indang Setiyawati, putri dari Khawas yang karena cinta yang tak sepadan, ia dilarikan dari puri oleh kekasihnya, seorang jelata: Cak Seligeli. Pelariannya dibantu oleh adiknya Cak Sentuwalang. Namun, karena pasukan Khawas kemudian mencarinya hingga pelosok-pelosok, mereka menyebrangi lautan menjejakan kaki di dataran dimana terdapat pohon-pohon nyiur berderet di sepanjang pantainya. Di tanah sebelum Sri Baduka Dewata Wisesa mendirikan kerajaan Pajajaran. Ke sanalah mereka melabuhkan perahu kemudian perahu mereka tidak menambatkan perahu melainkan mengkaramkannya agar jejak mereka tak diketahui dan mereka menembus hutan. Sang putri kini sepenuhnya bebas menentukan hidup bersama lelaki yang dicintainya: Cak Seligeli. Putri kini tinggal di hutan, tidak lagi di puri. Namun sang putri bukanlah seorang gadis jelata yang giat. Ia biasa dilayani. Maka dua kakak beradik itu kemudian bergantian menjaganya dikala salah satunya berburu.

Di tanah itu sang putri adalah satu-satunya wanita, sementara ada dua laki-laki di hutan itu. Hanya satu yang berhak atas sang putri, dan ada satu yang merana. Itulah malangnya laki-laki tanpa wanita. Sebab kejantanan lelaki akan bernilai dengan kehadiran seorang wanita di sampingnya.

Cak Sentuwalang diam-diam mengagumi putri berparas rupawan itu. Hasrat telah mengalahkan amanat, nafsu telah merasuk. Ia beritikad merebut sang putri dari kuasa kakaknya. Tetapi lelaki itu, Cak Sentuwalang, tidak membawa kabur Sang Putri. Si adik tidak pernah berani kepada si kakak, maka yang ia lakukan adalah menghasut!

Cak Sentuwalang mengarang cerita, ia berkata sepulang kakaknya kembali dari berburu: Putri Indang telah mengajaknya berbuat serong disaat kakak tidak ada. Awalnya si kakak tidak mempercayai si adik, Kemudian si adik membawa si kakak ke gubuknya dan memperlihatkan pakaian dalam serta kemben Putri Indang yang terserak: Itulah yang tertinggal. Rayi harus mengakhiri karena telah berhianat. Karena itu Rayi mohon pamit dari hadapan Kanda, begitu sang adik berkilah.

Si kakak murka: Kau tidak bisa pergi begitu saja! Kau harus menikahinya.

Si adik hanya tertunduk dalam diam. Namun hatinya bersorak.

Si kakak telah naik pitam. Ia memukulkan busur panah pada wajah si adik dan tersungkur hingga bibirnya berdarah, lalu si kakak mengambil pakaian-pakian itu kemudian beranajak bersama hati yang rusuh menemui istrinya.

Senyum puas si adik lalu tampak menyeringai pada bibir yang berdarah itu. Lakunya seperti singa yang telah melumat habis mangsanya dengan darah di sekitar mulutnya. Taring-taring yang tampak menyeringai dalam nganga mulut setelah lidah menjilat-jilat menyeka lumatan yang tersisa menempel di sekitar mulutnya. Ia lalu terdiam. Seperti menunggu.

“Kau telah berkaul selibat dengan ipar sendiri! Maka aku nyatakan diriku tidak berkuasa lagi atas dirimu, Indang! Kau telah lancang melacur!” begitu sang suami menghardik dalam getar amarah suaranya. Ia lalu melemparkan pakian dalam itu ke wajah sang putri. Ia telah memutuskan.

Martabat sang Putri telah direndahkan! Pengabdian diri selama ini telah didustakan. Jalan hidup yang telah ia putuskan dengan meninggalkan puri telah menghantarkan ke gerbang yang lain: gerbang petaka! Tetapi ia tidak menangis. Ia berusaha tenang.

Ia mencoba menghubungkan bukti dan tuduhan. Dan tuduhan itu telah menyadarkannya bahwa tiga ia tidak sendiri. Dua lelaki dihadapnya hanya satu diantaranya akan mencelakakan dirinya. Ia menyadari betul tidak mungkin sang suami yang ia tahu begitu mencintainya berbalik benci begitu tiba-tiba. Sesuatu telah membuatnya beramarah dan ia telah memutuskan pula bahwa lelaki itu, iparnya sendiri: Cak Sentuwalang telah berbuat durjana dengan memfitnahnya. Ia telah menetapkan orang yang akan dirinya hadapi saat itu. Tetapi ia menyadari pula bahwa dirinya adalah wanita lemah. Hanya kata-kata, barangkali yang ia andalkan. Ia tidak memilih menangis.

Maka seperti halnya dalam sebuah peperangan, ia dalam keadaan terkepung. Satu hal yang ia harus lakukan adalah memepertahankan apa yang trsisa yang bisa dipertahankan yaitu harga dirinya. Jangan lupa, ia adalah seorang putri bangsawan. Darah kstraia ayahnya mengalir dalam dirinya.

Sang putri berkata: Kalian telah melupakan sesuatu tentang diriku. Aku adalah putri seorang lelaki yang selalu menjaga dan menjunjung tinggi martabat diri dan kehormatan. Begitulah aku diwujudkan. Maka tidak mungkin aku berperilaku rendah seperti yang kalian tuduhkan pada diriku. Aku tahu bagaimana seharusnya mengabdi dan aku tahu cara bersikap layaknya seorang yang bermartabat.

Tetapi Cak Seligeli, suaminya menganggap ucapan itu adalah sebuah kesombongan belaka. Laki-laki itu tidak mencerna maksud dari pembelaan istrinya yang sesungguhnya justru meyakinkan cintanya pada sang suami. Namun latar belakang didikan begawan di puri telah membedakan cara berpikir bangsawan dan para jelata kala itu.

Cak Seligeli berkata: Sesungguhnya kini engkau dibawah kuasaku. Tidak ada lagi yang harus kau agungkan di tempat ini. Tidak pula segala raja dan keaguangan kehormatannya. Sekarang, untuk menebus kesalahanmu dan dosa pada Dewata, kau harus menikah dengan adikku.

Dewata tahu siapa yang telah melakukan kekejian ini, Putri Indang bersikeras. Namun karena sang suami telah begitu diliputi amarah, dalam tergesa ia menghampiri sang istri. Dijambaklah rambut istrinya dan si suami tidak memperdulikan pekik pilu sang istri. Lalu tubuh sang istri dicampakannya ke tanah.

Rambut yang tergerai berantakan di tanah. Sang Putri terkulai tidak berdaya.

Kalau begitu, berakhirlah hidup engkau wahai Putri, teriak lantang sang suami dan ia dengan seketika telah melepaskan anak panah dari busurnya, bahkan sebelum Cak Sentuwalang berbuat apa-apa. Sang Putri bersimbah darah. Anak panah telah menghunjam perutnya. Kejadian itu begitu tiba-tiba dan hanya menyisakan Cak Sentuwalang, adiknya, dalam nganga tatapnya.

Tetapi Putri Indang Setiawati bersumpah: Wahai Dewata, utuhkanlah sukmaku. Bila diriku tak suci, ragaku berkenan engkau sentuh. Terhinalah kalian semua bila tak kuasa menyentuh ragaku. Sang putri terdiam. Kedua matanya yang tertutup perlahan sesaat setelah ia berkata-kata.

Sesal. Demikianlah, ia menjegal pada sebuah akhir. “Kau telah membunuhnya.” Pekik Cak Sentuwalang. Namun demikian sesungguhnya dirnyalah yang telah menyebab-kan kematian Sang Putri. Hatinya mengakui itu. Lain halnya dengan Cak Seligeli, ia tidak bisa berpikir jernih lagi. Hatinya buta. Dua manusia dihadapnya adalah penghianat baginya. Maka, ia menyiapkan satu anak panah berikutnya yang telah terpasang tangkas pada busur dan kini diarahkan pada adiknya. Ia berharap panahnya akan menghunjam sebelum laki-laki itu memeluk jasad Sang Putri.

Namun, belum lagi ia melepas tali busur, jasad Sang Putri telah berubah seperti bulir cair pada daun talas namun yang ini tampak lebih besar. Ia menggenang lalu meresap cepat ke dalam tanah, dan satu bulir terakhir menyisakan kilau sebelum resapan terakhirnya. Kilau itu pecah. Meruap. Seperti ruapan yang tampak pada tanah ketika terkena cahaya matahari pagi. Ia terbang keangkasa tampak putih begitu nyata. Seperti sisa sebuah pembakaran, kelak Sang Putri menjadi peri yang membayang putih pada cahaya bulan. Sosknya tak pernah terlihat namun tampak bayangnya. Hanya orang tertentu mengetahui kehadirannya kemudian menjadi nasihat para sepuh tentang sebuah penghianatan.

Jasad Putri Indang menghilang sebelum Cak Sentuwalang menyentuhnya. Cak Seligeli tercengang. Anak panah itu tidak jadi menghunjam tubuh Cak Sentuwalang melainkan tertancap pada tanah, di depan kedua kakainya.

Sumpah Sang Putri telah terbukti. Jasadnya menghilang pertanda sebuah kesucian. Sesal. Sekali lagi, ia menjegal pada sebuah akhir. Namun kali ini ia datang bersama kutuk pada hari ketika telah padam. Terkutuklah Cak Seligeli. Tubuhnya penuh dengan borok atau tulah yang terasa begitu panas dalam gatal. Ia tidak pergi ke laut untuk meredam panas tubuhnya, sebab air laut membuat perih pada luka-luka. Ia mencari sungai atau rawa. Ke sanalah ia pergi. Tetapi boroknya tidaklah sirna melainkan mengeras memunculkan cula-cula pada sekujur tubuhnya, kelak ia menjadi onom penguasa rawa-rawa dan sungai-sungai angker. Pada malam purnama, ketika segala air pasang, itulah waktu dimana ia harus mencari pengganti pasangannya yang hilang. Kelak, itulah kurun waktu musim kawin para buaya.

Namun tidak serupa yang terjadi pada Cak Setuwalang. Ia kerap menatap purnama. Memanjat pada ringin, mengenakan jubah dari bulu binatag untuk melawan dingin. Pada pohon-pohon tinggi itulah ia bertengger agar bisa melihat bayang putih perwujudan Sang Putri, karena ia selalu merindunya. Kelak, ia menjadi pungguk yang selalu merindu purnama, dan menyuarakan malam yang kadang kita mendengarnya seberti bunyi pilu pada nganga paruh dan lengking tenggoroknya.

Aku terkesan. Bahkan saat nenekku kembali ke desa meninggalkanku, aku jadi sering menatap bulan. Adakah peri datang mengunjungiku? Sebab aku mempunyai keinginan untuk dikabulkan: Aku ingin ibuku tiada agar tiada lagi yang memecut kakiku dengan lidi panjang. Aku hanya ingin nenenkku, sebab hanya dia yang mengasihiku. Lalu mana Nenek Anteh? Aku ingin dia datang mendongeng untukku dilakala nenekku tidak mendongeng untukku. Namun aku masih menatap bulan, sebab kata nenek, kesababaran adalah perlambang bulan. Penerang hati. Maka, aku sabar menanti nenek dalam kumenatap bulan. Kemudian bulan menjadi sahabatku. Bagi aku yang selalu dalam kesendirian.

Lalu, seiring perjalanan waktu, ketika pada hari-hari gelap yang datang berulangkali, namun bulan yang kurindu tak kunjung terbit, malam itu aku bermimpi seokor buaya putih tampak sedang melumat manusia. Kilihat sepasang tungkai menyembul dari moncong mulut buaya itu. Kotor oleh warna darah. Sepatunya terlepas. Tetapi aku mengenal bentuk dan warna sepatu itu. Itu sepatu ibu. Dalam kesadaran yang aneh, aku menyangka bahwa buaya putih itu buaya Cak Seligei.

Esoknya, tiba-tiba aku tak lagi melihat ibuku. Lalu aku menanyakan kepada ayah, namun ayah tidak memberikan jawaban kecuali hanya berkata: ibumu pergi jauh meninggalkan kita. Hanaya itu. Kubertanya pada si Mbok, tetapi ia lalu terisak. Kemudian, pada suatu malam, pada hari ketika aku manati kemunculan bulan dan ibu tak nampak, kulihat ayah dengan terburu mengepak kopor besar tetapi saat itu bukan hari berakhir pekan dan aku belum libur sekolah.

Mau apa kita? Dan dimanakah ibu?

Lalu kulihat si Mbok masih tersedak dalam isak tangisnya di samping mang Halim yang tegang di belakang kemudi mobil yang bunyi mesinya telah bergemuruh. Disampingku Ayah yang terdiam. Semua tidak menjawab tanyaku.

Dari dalam mobil aku melihat ke belakang. Rumah begitu sepi. Jendela loteng kamarku tempat aku menatap bulan masih menganga. Semakin jauh tetapi aku tiba-tiba melihat ibu berdiri di ambang jendela. Daster merah dan kerudung hitam. Tersenyum dalam lambaian tangan kepadaku. Ibu! Itu ibu! Kenapa tidak diajak?–Aku memekik dalam rasa heran yang aneh. Entahlah (bukankah ibu tidak selalu tersenyum kepadaku?). Ayah menatapkku heran, namun wajahnya segera berubah senyum, Sudahlah, nak. Lupakanlah–ayah membelai kepalaku (Bukankah ayah tidak pernah membelaiku? Kenapa kedua orang yang aku benci kini tampak baik-baik di hadapku?) Lalu sepi dalam mobil. Aku masih melihat kebelakang dengan dagu ditopangkan pada jok belakang mobil tapi tak kulihat lagi ibu berdiri di sana. Rumah itu tampak semakin mengecil, kecil dan akhirnya tak nampak.

Demikianlah, tanyaku tak terjawab tentang ibu juga tentang tanya-tanyaku yang lain perihal koper-koper dan tas-tas besar yang begitu banyak diturunkan dari bagasi, mang Halim yang tertunduk dalam diam dan si Mbok yang tiba-tiba merangkul nenek yang keduanya pun menangis. Kemudian keduanya, mang Halim dan si Mbok lalu pamit pergi. Setelah itu sorenya, dimana hari belumlah beranjak gelap, aku melihat mereka mengetuk pintu dan membawa ayahku pergi. Mereka, lima atau enam laki-laki yang berbadan tegap dengan jaket kulit berwarna hitam dan mengenakan kaca mata hitam padahal hari tidaklah terik.

Aku bertanya tetapi nenek masih menangis.

Mereka semua pergi meninggalkan teka-teki yang tak terjawab. Jawaban itu tertinggal di sana, di tempat dimana aku kerap menatap bulan. Terisolasi lagi mengherankan. Terasing dalam balutan benang misteri yang rumit.

Aku kini bersama nenek. Ia menyekolahkan aku di sekolah dasar di desa. Tetapi ia tidak lagi bercerita padaku. Setiap waktu yang kulihat ia lebih banyak termenung.

Kemudian satu waktu, kuhampiri nenekku ketika ia sedang dalam sendiri menatap ke luar jendela, dan kubertanya: Kenapa semua sedih? Kemanakah mereka pergi, akankah kembali? Kemanakah ibu?

Neneku tidak menjawab. Ia menatapku. Tapi sesaat kemudaian aku telah berada dalam pangkuannya. Lalu ia menutup semua pintu dan segala jendela. Dan berkata: Lupakanlah!

Semenjak itu, aku merasa sesuatu telah terjadi namun semua itu dirahasiakannya kepadaku. Kepergian mereka mambuat nenekku selalu termenung kadang kulihat ia menangis. Tetapi aku tidak, sebab hatiku telah merasa kosong dengan ketidak bersediaan, tentang segala kepergian. Sebab mereka adalah bukan bagian diriku. Ibukku jahat pun begitu dengan ayah. Ketiadaan itu membuat hatiku gembira. Peri bulan telah mengabulkan permintaanku: ibuku tiada. Kuungkapkan itu semua pada nenek, dan nenek terkejut: Kau tidak boleh mengharapkan itu, nak. Ibumu pun kini telah menjadi peri yang akan mejagamu. Ibumu menyayangimu.

Ibu tidak menjagaku tidak pula menyayangiku–aku bersikeras. Bila ia jadi peri tentulah peri yang jahat. Tangan kirinya kini tidak lagi memegang lidi panjang melainkan trisula yang tajam pada ujung dan sisinya, seperti mata panah. Tangan kanannya memegang cambuk berduri dengan bandul besi berduri pula. Ia akan datang padaku, mencambukku dengan lebih keras dan menusuk-nusukkah trisulanya ke perutku. Tetapi aku dilindungi oleh peri putih yang melindungiku dari peri jahat itu.

Nenek menatapku. Sepertinya ia heran. Tapi ia terdiam. Tidak berkata-kata. Namun aku bersedih sebab nenek tidak mendongeng lagi untukku meskipun aku merengek, nenekku tetap bungkam, bahkan ia tidak lagi bercakap-cakap lagi kepadaku. Aku menjadi asing. Nenek lebih banyak berdiam diri dalam tatap seperti tatap pada jarak pandang yang jauh. Lama sekali. Dan, akhirnya aku kembali menatap bulan pada malam sepi dan sunyi lalu bercakap dengannya.

Lama-lama aku merasa mereka semua hilang. Ayah tidak lagi kembali. Nenekku, ia seperti hidup dalam tabung kedap udara dan suara. Ia seperti hidup pada lingkup dunianya sendiri. Tetapi aku bercakap-cakap dengan bulan: Tunjukanlah padaku peri yang baik wahai bulan! Kabulkanlah permintaanku: bawalah semuanya pergi, mereka, orang-orang yang selalu membenciku. Itulah mantra-mantraku yang selalu aku ucapkan dibawah cahaya bulan, dalam kesunyian.

Kesendirianku tidak hanya di rumah.

Teman-temanku di sekolah menjadikan aku objek olok-olokan sebab mereka mendustakan ceritaku tentang bulan. Maka aku tulis semua duka-dukaku lalu aku hanyutkan pada perahu kertas di sungai sebab bulan sedang tidak muncul pada malam ketika aku sedang berduka. Tetapi mereka malah menjuluki aku anak kelong wéwé keturunan sandikala sebab aku tidak bisa menghadirkan peri ke hadapan mereka, dan mereka pergi dalam tawa mengejek. Aku menangis. Mereka pergi bersama tawa-tawa mereka yang menggaung pada dinding ruang kelas. Tetapi tidak. Guruku tidak pergi. Ya, guru bahasa Indonesia. Seorang perempuan tua, berkacamata tebal. Ia menghapiri, membelaiku lalu menyeka air mata di pipiku.

Ceritamu bagus–ia berkata dalam senyum.

Aku nyaris tidak mempercayai bila saja ia tidak menyuruhku menceritakan kembali cerita itu. Tentang bulan. Ia mendengarkan aku bercerita lalu bertepuk tangan dalam senyum lebarnya setalah aku mengakhiri cerita itu. Ia menciumku. Selanjutnya aku sering disuruh menceritakan kisah Nyi Ratu Indang di muka kelas, di hadapan teman-temanku atau di depan guru-guru. Kemudian aku di serahi setumpuk buku-buku cerita rakyat yang beraneka ragam. Aku disuruh memilih beberapa cerita untuk kuhapal. Tidak. Aku tidak memilihnya. Aku tetap bercerita tentang kisah Nyi Ratu Indang. Akhirnya ia menyuruhku bercerita di satu ruang yang penuh orang-orang dan bertepuk tangan riuh ketika aku selesai bercerita. Ya sebab aku menceritakan kisah itu, hanya kisah itu, yang bisa membuatku bersedih dengan dalam, tertawa dengan dalam serta marah-marah dengan dalam. Lalu sepulangnya, aku membawa pila. Itulah saat aku merasa begitu gembira ketika ternyata banyak orang mendengarkan ceritaku.

Suatu hari, dari tempat yang berbeda, setelah orang-orang bertepuk tangan seusai mendengar ceritaku, aku pun pulang. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Seperti energi yang habis. Kulihat nenekku telah terbaring, tidak lagi duduk di ambang jendela seperti biasa. Kaki tangan hingga kepala ditutupi kain batik. Pamanku berkata bahwa nenek sudah meninggal. Ternyata nenekku telah pergi ke bulan dan menjadi peri di sana. Pada akhirnya, pamanku membawakku ke rumahnya di Sukabumi. Aku tidak suka tinggal bersama pamanku. Tidak ada tempat bagiku menatap bulan. Hanya himpitan gedung tinggi yang menghalangi jarak pandangku ke angkasa dimana bulan berada. Tetapi dari dialah, kelak, dari pamanku aku akhirnya tahu bahwa ibu dibunuh ayah karena ibu berselingkuh dengan menjer kantornya. Dari pamanku pula akhirnya aku tahu bahwa ketidak hadiran ayah selama ini ternyata ia dijebloskan ke dalam penjara.

Namun aku terus bercerita tentang Nyi Ratu Indang Setiyawati. Kematiannya sama seperti kematian ibukku. Bukankah hal itu adalah ramalan yang terbukti. Setiap aku mengharap kematian seseorang aku selalu memintanya kepada peri bulan. Ia mengabulkan permintaanku. Maka, aku berharap agar aku bisa menghadirkan peri. Mantra-mantraku berubah. Kini aku lebih banyak bercakap-cakap dengan bulan agar peri hadir di hadapanku.

Ternyata peri yang aku harapkan benar-benar muncul. Ia datang bersama ayahku. Lalu mereka membawaku dari pamanku. Tetapi aku tidak pernah mengharap ayah datang kembali sebab sosoknya tak pernah kurindukan. Kecuali wanita itu, ia baik yang selalu mengabulkan segala perminataanku serta membawaku ke segala arena bermain. Lalu ia mendandani aku secantik mungkin. Dialah ibu peri itu. Tetapi ia menyebut dirinya; Mama Eros. Wanita yang seri cantik wajahnya seindah bulan.

Apakah mama Eros datang dari bulan? – kubertanya.

Ia tersenyum dalam gelengan kepalanya. “Tidak” katanya. “Aku diutus oleh kehidupan untuk menyenangkan semua manusia yang ada di jagat ini. Di bumi atau di bulan.” Ia berkali-kali mencium pipiku.

Bukankah itu namanya peri?

“Aku peri Eros. Peri kesenangan dan kebahagiaan hidup. Aku merasa senang dan bahagia. Tetapi Mamam Eros tidak pernah bercerita tentang kisah-kisah walau sepotong, meskipun aku sering berdauaan bersamanya menatap bulan. Kelak, dialah yang mengajari aku memuja segala kenikmatan. Pemuja eros.

Kupandang wajah Uci, sahabatku. Ia sedang tidak bahagia. Bingung tampak pada seri wajahnya.

“Tidakkah kau ingin membebaskan pikiranmu sebentar saja dari memeikirkan dia?” aku bertanya.

“Harus gimana, dong?”

“Lupakan dia. Bahagiakan dirimu.”

“Caranya?”

“Jangan kau terus mengaguminya.”

Ia terdiam. Tidak sebentar. Matanya terpejam. “Tidak bisa Fifi…”

Aku ingin, untuk kali ini, dia bisa menikmati dengan kegembiraan, tetapi ia masih saja termenung dengan tetap memikirkan lelaki itu. Ya sudah.

Aku pernah merasakan saat-saat paling berbahagia selama aku hidup. Yaitu ketika aku dikagumi oleh banyak orang.

Ketika itu usiaku menjelang enam belas tahun. Tetapi perawakanku adalah gadis berusia dua puluh satu. Karena Mama Eros kerap mendandani aku seperti perempuan dewasa.

bersambung...